Perjuangan Sultan Ahmadsyah, Melawan Belanda

Perjuangan Sultan Ahmadsyah bermula ketika Belanda ingin menguasai negeri-negeri yang diklaim sebagai jajahan Siak di Pantai Timur Sumatra pada tahun 1862. Namun proses penaklukan tersebut tidak berjalan dengan mulus di negeri Asahan. Sultan Ahmadsyah yang merupakan Sultan Asahan saat itu menolak untuk tunduk mengakui kekuasaan Belanda. Salah satu bentuk dari penolakan Sultan Ahmadsyah menentang kekuasaan Belanda terjadi pada tahun 1862 disaat Netscher yang merupakan Residen Riau mengundang Sultan Ahmadsyah untuk berunding diatas kapal, namun Sultan Ahmadsyah menolak dengan tegas untuk naik ke atas kapal tersebut.

Berdasarkan Besluit tanggal 25 Agustus 1865 No. 1 Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengirimkan suatu ekspedisi (Expeditie Tegen Serdang en Asahan) ke Pantai Timur Sumatera, terdiri dari setengah batalion infanteri, dengan satu detasemen staf, 1 perwira, 25 pria artileri, 2 penunggang kuda, dan dua mortir berukuran 12 inci, 2 petugas kesehatan serta perawat, 129 orang Eropa dan 227 orang pribumi. Dari pasukan laut sendiri ada beberapa kapal yang dikirim yaitu: Djambi, Amsterdam, Sindoro, Montrado, Delfzijn, dan Dassoon serta beberapa speedboat dengan kapal yang mampu menampung 1000 awak kapal dan 49 senjata. Kapten ekspedisi di laut adalah P.A van Rees, serta di darat Mayor W.E.F van Heemeskerck sebagai kaptennya, turut juga Elisa Netscher selaku Resident Riau.

Melalui sungai Asahan armada Belanda menuju Tanjung Balai. Setelah terjadi perlwanan yang sengit, akhirnya Belanda dapat menguasai istana Asahan. Sultan Ahmadsyah beserta keluarganya segera mengungsi ke pedalaman. Belanda secara diam-diam menyusun rencana untuk menangkap Sultan Ahmadsyah dan saudara-saudaranya. Sultan Ahmadsyah dan adiknya Tengku Mohammad Adil dibuang ke Bengkalis kemudian ke Bogor, serta Tengku Amir Gelar Pangeran Besar dibuang ke Ambon. Beberapa waktu kemudian Sultan Muda Nikmatullah Yang Dipertuan Negeri Kualuh dan Leidong diangkat oleh Belanda menjadi Raja Asahan.

Pada 30 November 1867, Sultan Muda Nikmatullah diturunkan oleh Belanda. Kemudian Asahan dipimpin oleh 4 Pembesar Melayu, dan pada masa ini sangat sering terjadi perlawanan terhadap Belanda di Asahan. Karena situasi Asahan yang tidak aman dan selalu terjadi pemberontakan, maka Belanda memutuskan untuk memulangkan kembali Sultan Ahmadsyah, Tengku Adil, dan Tengku Pangeran Besar ke Tanjung Balai. Tentunya Belanda mengajukan dua usul kepada gerilyawan Batak melalui T. Nikmatullah yaitu, Belanda setuju memulangkan kedudukan Sultan Ahmadsyah dan tidak akan menaklukkan Asahan, tetapi hanya akan mengadakan perjanjian persahabatan dengan Belanda dengan arti bahwa Asahan tidak akan melakukan kerjasama maupun perjanjian dengan negeri-negeri lain kalau tidak mendapat persetujuan dari Belanda. Kedua, soal urusan dalam negeri tidak akan dicampuri oleh Belanda kecuali agar supaya sultan turut memajukan perekonomian terutama dalam sektor perkebunan yang mulai berkembang.

Setelah usul tersebut diterima, Belanda merencanakan untuk memulangkan Sultan Ahmadsyah dan kembali menjadi Sultan Asahan, dengan begitu Belanda berharap tidak akan ada lagi korban yang lebih banyak dipihak Belanda, T. Nikmatullah sendiri meninggal tahun 1882. Butuh waktu yang lama untuk membujuk Sultan Ahmadsyah agar mau berkerjasama dengan Belanda. Akhirnya pada tanggal 25 Maret 1886, Sultan Ahmadsyah menandatangani Akte van Bevestiging dengan pemerintahan Belanda di Bengkalis.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *